
Tunjangan yang hanya sebesar Rp500 ribu per bulan itu, bagi Jonni, sangat berarti untuk menghidupi keluarganya. Terlebih, sang istri kini tengah berjuang melawan penyakit kronis.
“Sekalipun kecil, Tunjangan itu sangat membantu untuk keluarga saya. Saya orang miskin, dan istri saya sakit kronis. Ini bukan sekadar uang, tapi hak saya sebagai wakil PBD desa,” ungkap Jonni dengan suara lirih kepada media, Senin (18/08/2025).
Lebih lanjut, Jonni menuturkan bahwa dirinya sudah 35 tahun mengabdi sebagai Aprat desa (BPD) Sebagai lembaga mitra kerja Pemerintah desa, namun justru diperlakukan seolah-olah tidak memiliki hak.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Desa Atep Oki, Jeril Lompoliu, berdalih bahwa keterlambatan Tunjangan terjadi karena Wakil Ketua BPD belum memasukkan laporan kinerja.
Namun, pernyataan itu langsung dibantah oleh Ketua BPD Desa Atep Oki, Femi Laow.
“Saya selaku Ketua BPD sudah memasukkan laporan kinerja. Jadi alasan itu tidak benar,” tegas Femi.
Pernyataan saling bertolak belakang ini memicu tanda tanya besar: Siapa yang sebenarnya bermain di balik terhambatnya hak seorang aparat desa yang sudah puluhan tahun mengabdi?

Kasus ini menjadi potret buram tata kelola pemerintahan desa, di mana hak rakyat kecil bisa begitu saja diabaikan. Sementara, yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat justru terkesan mencari alasan.
(Aril TM)
Social Header