

Minahasa, || Buserbhayangkaratv.co.id.
Di negeri ini, darah para pahlawan tumpah demi satu kain suci berwarna Merah Putih. Namun, di depan Pasar Tondano, Kabupaten Minahasa, kain suci itu ditemukan berkibar dalam keadaan sobek—seakan simbol negara yang kita junjung tinggi dicabik di hadapan rakyatnya sendiri.
Minggu pagi (10/08/2025), masyarakat tertegun. Sebagian marah, sebagian menunduk pilu. Bendera yang seharusnya menjadi lambang persatuan dan kehormatan bangsa, justru dibiarkan lusuh dan terbelah oleh kelalaian.

Tim media segera berusaha menghubungi Kepala Pasar Tondano untuk meminta penjelasan. Telepon dihubungi—tidak ada jawaban. Diam. Senyap. Seolah perkara ini bukan aib yang menampar wajah kebangsaan kita.

Tak tinggal diam, media menghubungi Ketua LAKRI Minahasa, Engko, yang dengan suara tegas mengingatkan:
“Mengibarkan Bendera Merah Putih yang robek adalah pelanggaran berat. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009, ancamannya penjara maksimal 1 tahun atau denda Rp100 juta. Ini bukan sekadar kain—ini harga diri negara.”
Sanksi tersebut bukan sekadar aturan di atas kertas, tapi peringatan bahwa setiap helai serat bendera adalah titipan darah, keringat, dan air mata pejuang.
Seorang warga di lokasi, yang enggan disebutkan namanya, matanya berkaca-kaca saat berbicara:
“Bendera itu adalah kita. Kalau dia robek, itu artinya kita membiarkan bangsa ini robek. Bagaimana kita bisa diam?”
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah pihak berwenang. Apakah ini akan disapu di bawah karpet sebagai kelalaian biasa, atau dijadikan momentum untuk menegakkan kembali kehormatan Merah Putih?
Karena satu hal pasti: ketika bendera robek dibiarkan, itu bukan hanya kain yang tercabik—tapi juga rasa nasionalisme yang tergerus.
(S.T M)
Social Header