Di tulis oleh:Ali rukman
Buserbhayangkaratv.co.id,Lampung barat-Ada tanjakan yang tidak hanya menanjak tanah, tapi juga menanjak batin: Tanjakan Haliyan Ghubok. Di sanalah hidup menguji kita dengan pertanyaan sederhana namun dalam: apakah kita memilih menjadi si optimis yang berkeringat atau si pesimis yang berisik?

Bagi anak-anak, ia adalah jalan menuju sekolah; bagi petani, jalan menuju ladang; bagi orang sakit, jalan menuju rumah sakit. Tetapi bagi kami, ia lebih dari sekadar jalan. Ia adalah kitab terbuka, halaman demi halaman yang ditulis dengan cangkul, sekop, dan keringat.
Kami memang sanak daghak, anak kebun, anak umbul—julukan yang kerap dilontarkan dengan nada merendahkan. Tapi kami tidak pernah merasa hina. Sebab harga diri tidak tumbuh dari seragam atau jabatan, melainkan dari keberanian menghadapi jalan curam dengan bahu sendiri.
Kami tahu, menunggu negara hadir di tanjakan ini sama saja menunggu hujan di kemarau panjang. Janji yang ditabur hanya sebentar jadi mendung, lalu hilang ditiup angin. Proposal hanyalah kertas kusam yang tertinggal di meja staf. Sementara rakyat dipanggil ke upacara, dikirimi spanduk bendera, diberi pidato tentang kemajuan, tetapi tidak diberi jalan yang bisa dilewati.
Karena itulah kami berhenti menunggu. Kami bekerja. Dengan baju lusuh yang menjadi seragam kebesaran kami. Dengan cangkul yang lebih jujur daripada semua baliho. Dengan sekop yang lebih setia daripada janji-janji. Kami tidak pernah memotong pita, tapi kami memotong keringat sendiri demi menambal jalan.
Dan lihatlah hasilnya: Tanjakan Haliyan Ghubok kini nyaris rampung (99%). Tidak ada papan proyek, tidak ada nama kontraktor, tidak ada foto pejabat tersenyum dengan gunting pita. Yang ada hanyalah rabat beton sederhana—lahir dari doa dan tekad warga yang memilih optimisme, walau dicemooh si pesimisme.
“Kik khanglaya ji di lewati Mobil nyak aga lapah Jurak, kalau jalan ini bisa di lewati mobil saya mau jalan terbalik!” kata seorang pesimis.
“Potong kuping saya kalau pekon Sukarami bisa ditembus kendaraan!” seru yang lain.
“Sampai ke adek-adekmu….., membangun jalan secara swadaya nggak kalau mudah” kata dia yang mengaku pejabat.
Awalnya ucapan itu menyakitkan. Lama-lama justru jadi bahan tertawaan. Biarlah mereka memanggul kata-kata, kami memanggul batu. Biarlah mereka menabur sinis, kami menabur kerja. Sejarah sudah berulang kali membuktikan: yang dicatat bukan suara nyinyir, melainkan keringat yang menetes di tanah.
Setiap meter jalan yang terbentang adalah doa untuk si optimis dan sekaligus teguran bagi si pesimis—terutama yang duduk di kursi empuk, rajin memotret rapat, tapi lupa memotret solusi.
Sanak daghak memang anak kebun. Tetapi dari kebun inilah kopi yang harum ke kota, dari kebun inilah sayur yang segar ke pasar. Dan kini, dari kebun inilah lahir jalan: bukan sekadar jalan tanah yang mengeras, tetapi jalan keyakinan bahwa optimisme rakyat selalu lebih kuat dari pesimisme siapa pun.
Jika jalan adalah simbol peradaban, maka kami telah membangun peradaban kami sendiri. Dengan tangan yang kasar, dengan baju yang lusuh, dengan semangat yang sederhana, tapi sesungguhnya lebih agung daripada semua baliho yang terpajang di Liwa.
Kini, Tanjakan Haliyan Ghubok berdiri sebagai saksi bisu. Ia tahu siapa yang bekerja, siapa yang hanya berkata. Ia menyimpan nama-nama yang berkeringat, dan melupakan suara-suara nyinyir yang berlalu begitu saja.
Dan bila kelak sejarah menoleh ke belakang, ia hanya akan mencatat satu hal: bahwa di Tanjakan Haliyan Ghubok, optimisme rakyatlah yang menang.
Wahdi syarif
Social Header