Buserbhayangkaratv.co.id || MINAHASA —Dalam arsitektur tata kelola pemerintahan desa yang seharusnya berorientasi pada transparansi dan integritas, Desa Atep Oki, Kecamatan Lembean Timur, kini diguncang oleh gelombang kecurigaan publik.

Aroma busuk dugaan korupsi dana desa kembali menyeruak, menempatkan Kepala Desa Jeril Lompoliu di bawah sorotan tajam masyarakat.
Bukan sekadar persoalan administrasi, dugaan ini merentang hingga ke aspek akuntabilitas sosial. Isu krusial yang menjadi pemantik amarah publik adalah indikasi ketidaktransparanan pengelolaan anggaran, diperparah oleh fakta mencengangkan: hak tunjangan Wakil Ketua BPD, Jonny Mantiri, tak kunjung terealisasi, padahal dana tersebut vital untuk biaya pengobatan istrinya yang tengah menderita sakit kronis.

Ketua BPD, Femi Laow, menegaskan secara lugas bahwa proyek tersebut masuk kategori tahap pertama, bukan tahap kedua tahun anggaran 2025.

Namun, pernyataan tersebut justru dikontradiksi oleh Kepala Desa Jeril Lompoliu, yang dengan enteng menyebut pekerjaan itu adalah tahap kedua.
“**Itu tahap dua, bukan tahap satu,**” ujar Jeril saat diwawancarai media, **7 Juli 2025**.
Pernyataan kontradiktif ini seketika dipatahkan oleh Wakil Ketua BPD, Jonny Mantiri, yang menegaskan dengan detail:
“*Pekerjaan penimbunan batu penangkal ombak di Dusun 2 itu jelas tahap pertama, dengan anggaran Rp53.760.000 untuk panjang 40 meter. Begitu juga proyek drainase di Dusun 1, dengan nilai Rp32.833.000 untuk panjang 67 meter,” tandas Jonny, *18 Agustus 2025*.
Disonansi informasi ini memantik resonansi kekecewaan publik. Beberapa warga yang enggan diungkap identitasnya menuding adanya **anomali pengelolaan anggaran desa**.
“Ini sudah keterlaluan! Uang hak orang ditahan, sementara proyek-proyek desa penuh dugaan manipulasi. Kepala desa tidak transparan, ini jelas aroma korupsi!” tegas seorang warga dengan nada tinggi, *18 Agustus 2025*.
Tak berhenti di situ, isu ini menjadi episentrum kegelisahan sosial ketika terkuak fakta bahwa tunjangan Rp500 ribu per bulan milik Wakil Ketua BPD tidak pernah cair. Padahal, dana tersebut merupakan instrumen vital untuk menopang biaya pengobatan istrinya yang tengah berjuang melawan penyakit kronis.

Kini, kasus ini menjelma menjadi bola panas dalam percaturan akuntabilitas pemerintahan desa. Publik mendesak aparat penegak hukum untuk mengeksekusi langkah tegas, agar uang rakyat tidak terus berada dalam pusaran permainan segelintir oknum.
Dalam dialektika tata kelola desa, satu hal kini menjadi sorotan: *jangan sampai demokrasi lokal tercederai oleh praktik yang meruntuhkan marwah pemerintahan desa itu sendiri*.
(Aril T.M)
Social Header